Saturday, April 25, 2009

Di Balik Angka Pemilu 2009

Oleh: M Qodari
(Direktur Eksekutif, Indo Barometer, Jakarta)

Usai pemilu legislastif, sekarang ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja partai politik (parpol) kita. Parpol yang baik merupakan keharusan apabila kita ingin meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Partai politik yang buruk akan melahirkan demokrasi yang lemah. Sebaliknya, partai politik yang baik akan melahirkan demokrasi yang kuat.

Terhadap kinerja parpol kita, pada dasarnya hanya ada dua jenis penilaian yang bisa diberikan. Pertama, berhasil. Kedua, gagal. Kriteria penilaian itu pun secara umum bisa dibagi dua. Pertama, kriteria berbasis angka. Kedua, kriteria berbasis non-angka. Karena keterbatasan ruang untuk memudahkan evaluasi kinerja parpol, dalam kesempatan ini fokus evaluasi akan dilakukan pada kinerja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sambil tetap membahas partai-partai lainya.

Kriteria angka
Evaluasi ini akan dimulai dari kriteria angka. Kriteria angka itu sendiri dapat dibagi dalam beberapa kategori. Kriteria pertama adalah kirteria persentase suara. Parpol yang persentase suaranya naik dianggap berhasil dan yang turun dianggap gagal. Jika kriteria ini dipakai, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa dianggap sukses karena suaranya meningkat dari 7,3 persen di Pemilu 2004 menjadi sekitar 8,5 persen dalam Pemilu 2009 ini. Namun, yang lebih sukses tentulah Partai Demokrat (PD) yang suaranya naik hampir tiga kali lipat, dari 7,5 persen di tahun 2004 menjadi sekitar 20,5 persen di tahun 2009 ini.

Jika PKS dan PD dianggap sukses karena suaranya naik, parpol yang 'kurang sukses' karena suaranya turun adalah Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).Adapun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tidak ikut dimaksukkan evaluasi ini karena baru sekali ikut pemilu. Sementara itu, kenaikan dan penurunan suara Partai Amanat Nasional (PAN) belum bisa disimpulkan secara definitif karena beberapa quick count (QC) berbeda persentase suaranya.

Kriteria angka berikutnya adalah kriteria peringkat. Jika kriteria peringkat yang dipakai, PKS juga bisa disebut berhasil karena peringkat PKS naik dari nomor 6 di Pemilu 2004 ke nomor 4 di Pemilu 2009. Yang paling berhasil tentu saja PD yang posisinya meloncat dari peringkat 5 di Pemilu 2004 ke peringkat 1 di Pemilu 2009. PAN juga sukses karena naik karena dulu peringkat 7 sekarang peringkat 5.

Adapun parpol yang gagal adalah Golkar (turun dari peringkat 1 di Pemilu 2004 ke peringkat 2 atau 3 di Pemilu 2009, ini pastinya menunggu hasil hitungan resmi KPU), PPP (turun dari peringkat 4 ke 6), dan PKB (dari peringkat 3 ke peringkat 6). PDIP di tahun 2004 menempati peringkat 2. Di Pemilu 2009, mungkin PDIP bertahan di peringkat 2 atau mungkin turun ke peringkat 3, tergantung hitungan resmi KPU nanti.

Untuk kriteria kenaikan dan penurunan kursi di DPR RI, analisis masih tentatif karena penghitungan resmi KPU belum selesai. Penghitungan ini menjadi lebih rumit karena adanya variabel baru dalam penghitungan kursi DPR RI, yakni aturan ambang batas atau parliamentary threshold untuk pemilu DPR RI. Namun, dari penghitungan sementara, beberapa partai yang jumlah kursinya diperkirakan menurun adalah Golkar, PDIP, PPP, dan PKB. Sementara itu, yang naik adalah PKS dan PD.

Kriteria berbasis angka lainnya adalah soal penyebaran kekuatan parpol. Parpol yang berhasil adalah parpol yang kekuatannya menyebar lebih merata di Pemilu 2009 ini. Parpol yang gagal adalah parpol yang tidak mampu memperluas wilayah kekuatannya. PKS termasuk sangat berhasil karena dulu partai ini hanya kuat di Banjabar (Banten, Jakarta, Jawa Barat), namun kini dapat merebut banyak kursi di wilayah lain, seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan seterusnya. PD juga sangat berhasil. Posisi PD hampir selalu masuk tiga besar di berbagai provinsi. Bahkan, PD bisa menjadi peraih suara tertinggi di beberapa daerah yang dulu dikuasai partai lain, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan seterusnya.

PDIP dan Golkar pada hakikatnya tetap mempertahankan penyebaran suaranya yang bersifat nasional. Namun, suara Golkar dan PDIP menurun di berbagai wilayah. Yang jelas gagal adalah PKB yang wilayah kekuatannya tidak keluar dari Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Bahkan, suara PKB di Jawa Timur yang dulu peringkat 1 kini turun ke peringkat 3 di bawah PD dan PDIP.

Kriteria Nonangka
Di luar kriteria angka sebagaimana dipaparkan di atas, penilaian tentang keberhasilan dan kegagalan parpol juga perlu mempertimbangkan beberapa kriteria penting lainnya yang beyond numbers (di luar/di balik angka-angka). Beberapa kriteria nonangka itu meliputi ideologi, organisasi, sumber daya, dan kepemimpinan.

Evaluasi terhadap empat kriteria nonangka ini kiranya lebih penting daripada kriteria angka karena bersifat lebih jangka panjang dan mendalam ketimbang angka-angka. Kriteria nonangka ini penting diikutsertakan dalam evaluasi ini karena dua alasan. Pertama, kriteria ini mencerminkan kapasitas parpol yang sesungguhnya untuk menjalankan perannya secara maksimal. Kedua, kriteria angka menyimpan jebakan persoalan tersembunyi. Ada partai yang menurut kriteria angka mencapai kesuksesan besar, ternyata menyimpan hal yang serius ketika ditinjau dari kriteria nonangka.

Kriteria ideologi, misalnya. Kriteria ini sangat penting bagi parpol karena parpol pada hakikatnya merupakan wadah perjuangan bagi orang-orang yang memiliki ideologi yang sama untuk mewujudkan ideologi itu dalam kehidupan bangsa dan negara. Adapun ideologi yang dimaksud di sini adalah "suatu sistem gagasan yang menyeluruh tentang kondisi masyarakat yang ada sekarang dan kondisi masyarakat yang dicita-citakan, berikut cara-cara untuk mewujudkannya".

Kriteria ideologi ini penting untuk parpol agar dia memiliki orientasi yang jelas ke mana parpol ini akan dibawa. Jika suatu parpol eksis tanpa ada suatu landasan ideologi yang jelas, parpol tersebut sebetulnya hanya menjadi 'mesin suara' yang mengantarkan caleg menjadi anggota DPR/DPRD atau tokoh partai menjadi capres, cawapres, menteri, ataupun jabatan publik lainnya. Jika ini yang terjadi, eksistensi parpol tersebut sulit diharapkan untuk membawa kemaslahatan publik yang besar, selain nasibnya tak akan berumur panjang.

Dalam konteks ini, hanya sedikit parpol besar kita yang telah memiliki landasan ideologi yang dijabarkan secara jelas, menyeluruh, dan detail dalam satu dokumen yang utuh (sebutlah: "platform partai"). Sampai sejauh ini, saya baru menemukan satu partai yang membuat platform partai, yakni PKS. Saya belum menemukan dokumen sejenis untuk Golkar yang notabene partai senior dan PD yang merupakan pemenang Pemilu 2009.

Kriteria organisasi itu penting sebagai institusi yang menjalankan begitu banyak peran, termasuk di antaranya agregasi politik, komunikasi politik, rekrutmen politik, kaderisasi kepemimpinan, pendidikan politik, dan seterusnya. Partai politik harus memiliki organisasi yang solid dan modern. Apalagi tugas demikian harus dilaksanakan pada skala nasional yang sangat luas. Parpol dengan organisasi lemah (termasuk dalam kriteria organisasi ini adalah kualitas kader) tidak dapat diharapkan untuk menjalankan aneka peran di atas. Bahkan, ada parpol yang organisasinya begitu buruk sehingga untuk mengurus dirinya sendiri pun tak mampu.

Dalam aspek ini, PKS termasuk partai yang dianggap sukses. Organisasinya rapi dan kadernya solid. Parpol yang juga dianggap memiliki organisasi yang baik adalah Golkar. Adapun parpol yang organisasinya masih dianggap lemah adalah PDIP, PKB, dan PPP. Catatan khusus harus diberikan pada PD yang dalam Pemilu 2009 kali ini menang, namun sesungguhnya kemenangan itu bukan dilahirkan oleh organisasi yang kuat.

Kriteria sumber daya terutama menyangkut kemampuan parpol membiayai aneka kegiatan mereka sehari-hari. Ini salah satu persoalan terbesar parpol Indonesia sekarang ini. Kebanyakan parpol belum cukup kuat secara finansial. Dalam konteks ini, PKS masih kurang sebab PKS kalah sumber daya dibandingkan Golkar dan PDIP yang notabene memang lebih senior. Juga, kalah sumber daya dari PD yang tokohnya sekarang presiden berkuasa. Pekerjaan rumah semua partai itu adalah bagaimana bisa mengumpulkan sumber daya yang tidak keluar dari koridor hukum dan dapat berfungsi dalam jangka panjang.

Kriteria terakhir adalah kriteria kepemimpinan. Kepemimpinan dalam parpol penting karena dua alasan. Pertama, kepemimpinan dalam parpol merupakan "bahan baku" untuk kepemimpinan nasional. Kedua, kepemimpinan atau tepatnya ketokohan yang kuat dalam parpol merupakan magnet suara yang bisa membuat suara partai membesar secara signifikan. Dalam kriteria ini, PKS belum memiliki tokoh yang bisa menjadi magnet suara bagi masyarakat Indonesia sehingga bisa membuat PKS menjadi parpol terbesar di Indonesia.

Parpol yang sukses dengan tokoh yang menjadi magnet politik ada di PD dengan SBY sebagai tokohnya dan PDIP dengan Megawati Soekarnoputri sebagai figur utamanya. Golkar, PAN, PKB, dan PPP nasibnya mirip dengan PKS karena belum memiliki figur yang popularitasnya seluas SBY dan Megawati. Memang, parpol tidak boleh tergantung pada figur selamanya, namun mesin politik yang kuat tanpa figur yang juga kuat akan sulit mengalami akselerasi kemenangan. Inilah empat pekerjaan rumah parpol-parpol Indonesia ke depan, yaitu membangun platform ideologi yang jelas; organisasi dan kader yang kuat; sumber daya yang memadai; dan ketokohan yang mampu menjadi magnet politik nasional.

Monday, March 2, 2009

Kawan...Mahasiswa...!


Kawan...
Apakah benar masa itu berarti melupa
Apakah benar masa itu mendendam
Apakah benar kisah itu terpendam
Apakah benar cerita itu terbang

Perjuangan adalah rentang 
Tak kan lekang walau sebatang
Tak akan tumbang walau terhalang

Perjuangan itu butuhmu teman
Karena ia tahu, kau lah cita
Cita yang dinanti peradaban
Cita yang diharapkan Indonesia

Kembali rentangkanlah...
Bentangkan semua harapan...
Kejarlah bintang-bintang itu...
Biar tak ada lagi sesal masa...
Atas keberadaan kita...
Biarkan bangga sejarah...
Akan adanya kita...
Biar kita tak hilang...
Lebam menciut dalam cekamnya alam...

Taklukanlah...
Karena sesungguhnya...
Kita adalah sang penakluk...

"SELAMAT BERJUANG.....!"
"HIDUP MAHASISWA......!"
"JAYALAH INDONESIA.

Wednesday, February 25, 2009

Detik Terakhir


Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan AlQur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku." Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.

Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. 

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:

'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril. 

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. " Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. 

"Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"



Ending


Kawan… tentu kata “ending” bukanlah kata yang asing untuk kita, bukan?. Di negeri ini banyak pengandaian bijak yang menjelaskan bahwa “Tiada pertemuan tanpa akhir”. Tentu sangat akrab kita dengan pengandaian tiada padang tanpa pasir, tiada pertemuan tanpa akhir, bukan?. Pun sebagai seorang muslim kerangka iman kita dikuatkan dengan bahasa ending ini. Ending dibahasakan pada rukun iman ke-lima,yaitu percaya kepada hari kiamat. Kepercayaan, yang merupakan harga mati ketika memilih Islam sebagai way of life. Kiamat adalah ending dari keberlangsungan semesta ini. 

Kawan… bukankah “kematian” juga adalah ending? Ending dari kehidupan setiap makhluk yang merasakan ”kehidupan”. Ending dari keangkuhan kehidupan seorang Fir’aun adalah ketika dia dipendam-matikkan di Laut Merah. Pengembaraan alam pasti akan berujung. Pengarungan samudra pasti akan bertepi. Itu juga adalah bahasa ending. Ditemukannya benua baru, Benua Amerika oleh Cristopher Columbus adalah ending dari petualangannya mencari daratan India. Untuk itulah pada awalnya penduduk asli amerika di sebut Indian. 

Kawan...tentu Anda pernah mendengar istilah Happy Ending, bukan? Kondisi akhir yang mengharu-birukan kita pada luapan kebahagian. Happy ending yang tiada tara sebagai manusia adalah ketika menutup kehidupan dalam keadaan Khusnul Khotimah, dan berhak mengecap nikmatnya syurga Allah SWT. Syurga adalah piala yang begitu didamba di ending yaumil akhir ini. Happy ending seorang Columbus adalah ketika menemukan Benua Amerika. Happy ending seorang Archimedes ketika dia tidak sadarkan diri dan berteriak ”Uereka” menemukan kepahaman yang dicari selama beberapa waktu sebelumnya. Pun Anda, saya yakin juga akrab dengan keadaan yang penuh dengan ”Happy Ending” ini.

Kawan...bagaimana jika kita membuat antitesis dari Happy Ending adalah Sad Ending. Sad ending yang berarti akhir yang sangat memilukan. Kepiluan yang tiada tara seorang Fir’aun adalah ketika ia harus mengakhir kehidupannya dalam keadaaan Su’ul Khotimah di Laut Merah dan di jebloskan ke Neraka Jahannam, bukan? Kesedihan yang membara dari sebuah kompetisi adalah kekalahan dan menjadi pecundang. Atau lingkup terkecil, kepiluan yang begitu menyakitkan bagi seseorang pelajar adalah ketika tidak lulus ujian. 

Lalu...bagaimana Anda melihat bahasa Ending itu. Jika saya mengasosiasikan bahwa ending itu adalah bahasa lain dari Vision. Visi berbicara bagaimana seseorang melihat masa depan. Melihat masa depan berarti juga melihat kemungkinan ending itu. Itu berarti juga ending itu bisa direncanakan. Happy atau sad ending berarti juga pilihan. Pilihan untuk bermimpi melihat masa depan itu, apakah berakhir kebahagian atau kepiluan. Ending berarti juga ada ruang kuasa kita untuk mengarahkan ending itu. Namun, kita juga harus menyadari bahwa tidak seratus persen semuanya berada di bawah kuasa manusia. Ada ruang di mana kita harus berserah diri hanya kepada Allah SWT. Kawan...segeralah membangun visi itu, biarkan peluang Happy Ending itu semakin terbuka. Uereka...Wallahu’alam

Monday, February 23, 2009

Entahlah...

Entahlah...
Alam begitu tak ku mengerti
Masih menyimpan selaksa misteri

Entahlah...
Aku juga kadang tak mengerti diri
Ia masih gelap dengan sejuta sisi

Entahlah...
Mungkin juga aku akan berlari
Belari dari gegap gempita hati

Entahlah...
Barangkali aku tak kan lagi berseri
Menapaki sisa-sisa hari

Entahlah...
Aku hanya ingin diam teredam
Pedam dalam kepasrahan hati

Entahlah...
Mungkin aku tak kan mampu kembali
Menyisir masa-masa penuh ilusi

Entahlah...
Aku hanya mampu berharap dari-Mu
Berharap akan keberpihakan takdir-Mu

Entahlah...
Apakah aku masih mampu bermimpi
Mengenapi cita mengarungi semesta ini

Konferensi Islam Tawarkan Islam Sebagai Solusi Krisis Global

Colchester (ANTARA News) - Konferensi Islam ke-3 yang digelar Islamic Society, sebuah lembaga mahasiswa Muslim di University of Essex, menawarkan Islam sebagai solusi.

Konferensi itu merupakan kelanjutan dua konferensi sebelumnya pada 2008 yang bertajuk "A Jpurney to Islamic Values" dan 2007: "Islam as a Moderate Religion", ujar Amika Wardana, dosen jurusan Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta yang mengambil program Doktor Sosiologi di University of Essex, kepada koresponden Antara, London, Minggu.

Amika mengatakan, konperensi yang mengusung tema "Islam Bbeyond the Veil?" itu menampilkan lima pembicara, di mana empat di antaranya merupakan penduduk Muslim Inggris dan seorang ahli psikologi pendidikan dari Kerajaan Saudi Arabia.

Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Inggris Raya itu menyatakan apresiasinya pada kegiatan yang digelar University of Essex dan juga mempertanyakan apakah Islam betul-betul memberikan solusi untuk berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat Barat sekarang ini.

Amika, yang mengkaji interaksi antarkomunitas Muslim di Inggris Raya, khususnya antara yang berasal dari Indonesia, Pakistan dan Arabia, mengatakan bahwa setiap Muslim baik secara individu maupun sebagai sebuah komunitas harus menyadari bahwa mereka adalah bagian dari kompleksitas dunia ini.

Dikatakannya, untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah dunia ini, bukan saatnya lagi menerapkan strategi konfrontasi, membuat perbedaan yang tidak tersatukan antara Islam dan barat yang tidak Islami.

"Model Clash of Civilisation" yang digunakan oleh mantan Presiden George W. Bush dan juga Osama Bin Laden adalah bukan cara yang tepat untuk menghadirkan kedamaian di bumi ini," ujar suami Norma Sari Wardana itu.

Menurut Amika yang menyelesaikan master di University of Nottingham Graduate pada 2007 itu, cara berpikir semacam itu hanya akan menciptakan kehancuran dan pertentangan yang tidak akan pernah terselesaikan dalam kehidupan manusia.

Ia juga mengharapkan komunitas Muslim di Indonesia yang mayoritas mengambil pelajaran dari komunitas-komunitas Musim yang minoritas di Eropa.

Kaum Muslimin harus mampu menampilkan Islam sebagai nilai lebih dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya baik itu ketika menjadi kelompok mayoritas maupun minoritas, ujarnya.


Slogan

Ketua Islamic Society University of Essex, Abdullah Al-sheddy mengatakan, konferensi dengan polemik yang disampaikan sejarahwan Bernard Lewis, menempatkan Islam yang bukan saja sebagai agama, tetapi juga sebagai "way of life" (pandangan hidup) yang berkembang dalam keseluruhan materi konferensi.

Dubes RI untuk Qatar, Rozi Munir tahun lalu diundang khusus untuk mengikuti konperensi yang tahun ini dihadiri lebih dari 300 undangan yang separuhnya adalah warga Inggeris.

Muslim Inggris, Abdul Raheem Green sebagai pembicara pertama mengatakan, pernyataan Islam sebagai solusi kehidupan manusia modern masih tampak sebagai slogan belaka dan membutuhkan kerja keras dari kaum Muslimin untuk mewujudkannya.

"Nilai solutes Islam juga harus lebih realistis pada beberapa masalah tertentu saja bukan untuk semua masalah," ujar pria kelahiran Daar-es-Salaam, Tanzania, dari keluarga Agnostik-Katolik.

Menurut Abdul RaheemGreen, menempatkan Islam sebagai satu-satunya solusi bagi semua masalah adalah sebuah kesalahan yang dikemudian hari malah menjadi boomerang bagi masa depan Islam.

Dikatakannya apabila kaum Muslimin menginginkan sikap toleran dari masyarakat Kristen-Katolik dan juga pro-sekularisme di Inggris, maka Islam juga harus menunjukkan toleransinya kepada agama-agama yang lain.

Sedangkan pembicara lainnya Khola Hasan dan Dr. Yahya Al-Baheth, masing-masing membahas tentang pentingnya implementasi atau diakuinya Hukum Islam khususnya berkaitan dengan perkawinan dan warisan di Inggris dan peran penting keluarga dalam menciptakan generasi Muslim yang kuat.

Khola, penyandang master dalam bidang Perbandingan Hukum Internasional dari SOAS (School of Oriental and African Studies) ini mengingatkan perempuan Muslim adalah kelompok yang rentan menjadi korban tidak diakuinya Hukum Islam dalam sistem hukum di Inggris.

Banyak perempuan yang pernikahannya tidak terdaftar di Civil Magistrate tidak mendapatkan bagian pensiun dari suaminya yang meninggal atau tidak bisa menuntut cerai karena suaminya melakukan tindak kekerasan, ujar Khola Hasan.

Sementara itu, Tarek El-Diwany, konsultan di bidang perbankan dan keuangan Islam, mengkritik merajalelanya riba dalam sistem keuangan dan perbankan dunia.

Menurutnya, resesi ekonomi global yang terjadi saat ini adalah satu dampak dari masih dipertahankannya riba. Akibatnya, semua orang dari seluruh negara di dunia, khususnya negara Dunia Ketiga, memiliki beban hutang dan tidak mungkin bisa dilunasinya karena adanya praktek riba dalam sistem keuangan dunia.

Secara khusus alumni program studi Akuntasi dan keuangan dari University of Lancaster ini mencontohkan Indonesia yang harus sekuat tenaga menguras seluruh sumber daya alamnya untuk membayar hutang ke negara-negara maju Eropa Barat dan Amerika Utara.

Di akhir ceramahnya, Tarek menegaskan Sistem Perbankan Syariah pun masih mempraktekkan sistem riba ini, meskipun dengan nama lain. Ini hanya permainan semantik saja, tapi keduanya (sistem perbankan konvensional dan syariah) masih berdasarkan riba.

Konferensi ini ditutup dengan paparan Dr. Muhammad Abdul Bari, Sekretaris Jenderal Muslim Council of Britain, yang menuding media Barat yang terus menerus menampilkan narasi teror dalam pemberitaan media berkenaan dengan Islam dan dunia Muslim.

Adalah menjadi kewajiban setiap Muslim di manapun dia berada untuk bekerja keras menunjukkan bahwa keislamannya bukanlah ancaman bagi orang lain.

Pernyataan ini ditanggapi Abdul Raheem Green yang mengingatkan bahwa setiap Muslim di Inggris selayaknya mengenal semua tetangga tempat dia tinggal, mengunjungi ketika ada yang terkena musibah dan menawarkan bantuan apabila ada yang membutuhkan.

"Bukankah ini diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW," katanya.

Iklan PKS: Disruption atau Destruction


Mendekati Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, partai-partai secara masif mulai beriklan. Partai yang menurut catatan media cetak mengeluarkan pembiayaan iklan yang paling besar adalah Partai Demokrat (PD) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sebagai partai yang memerintah (ruling party), PD tentu saja ingin memperkuat positioning-nya sebagai partai yang "Berjuang untuk Rakyat". Iklan PD memaparkan fakta dan angka keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sedangkan Partai Gerindra sebagai pendatang baru beriklan secara masif dan kontinyu untuk memperkenalkan partai dan capres Gerindra Prabowo Subianto.


Partai beriklan untuk membangun dan memperkuat positioning dirinya. Positioning adalah upaya partai untuk memasuki benak konstituen, mencari ruang untuk menempatkan diri di antara partai lainnya. Positioning yang tepat dapat meningkatkan dukungan terhadap partai dengan membuka potensi pemilih baru. Ada dua cara untuk mendulang pertambahan suara. Yang pertama, langkah ekspansif. Langkah ini membuka pasar di luar basis pemilih lama, Yang kedua adalah secara penetratif dimana partai cenderung memperdalam perolehan di basis suara.


Iklan partai yang terakhir mendapat perhatian dan ulasan yang cukup banyak di media adalah iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS memang sedang menghadapi dilema dengan positioning. Sebagai partai yang menempatkan menteri-menteri di kabinet SBY-JK agak sulit bagi PKS untuk menyerang incumbent sebagaimana yang dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memang menempatkan dirinya sebagai penantang (oposisi).


Sementara itu di lain pihak, PKS sendiri sulit untuk melakukan kapitalisasi atas keberhasilan-keberhasilan dari pencapaian incumbent karena kader PKS hanyalah menteri. Hal ini berbeda dengan Partai Golkar (PG) yang menempatkan kadernya sebagai wapres sehingga pemanfaatan klaim "keberhasilan" Kabinet SBY-JK dapat dibenarkan (justified). Tak heran, iklan PG dengan percaya diri mengangkat tema seperti swasembada beras, resolusi konflik, dan anggaran pendidikan sebesar 20%.


Iklan PKS bertemakan "pertikaian para elit" yang muncul kemudian merupakan upaya untuk mengubah lanskap politik yang terlihat mulai ajeg. PKS berupaya memberikan perspektif baru yang menguntungkan dirinya dalam lanskap politik tersebut (reframe). Berdasarkan survei-survei terakhir posisi 3 (tiga) besar masih ditempati PD, PDIP dan PG. Perolehan suara antara ketiga partai ini juga relatif tidak terlalu jauh. Sementara itu, jarak antara sang Tiga Besar dengan partai-partai dibawahnya cukup jauh. Capres yang diprediksi akan bertarung sengit adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarno Putri. Capres lainnya menyusul kemudian berturut-turut adalah Sri Sultan, Prabowo Subianto dan Capres dari PKS Hidayat Nurwahid.


Sebagai partai yang berambisi untuk memperoleh sekitar 20% suara (yang tentu juga berambisi menempatkan kadernya sebagai capres), PKS telah mengambil langkah taktis dengan menyatakan diri sebagai Partai Terbuka untuk memudahkan ekspansi demi memperluas segmen pemilih. Selama ini PKS dikenal sebagai partai kanan (agama). Namun PKS kini mengaku sebagai partai yang secara ideologi tidak jauh berbeda dengan PG dan PD, yaitu partai tengah. Dengan demikian, segmen pemilih partai-partai tersebut bisa dimasuki PKS. Untuk mendukung pesan tersebut, PKS meluncurkan iklan tokoh-tokoh pahlawan dari semua spektrum ideologi politik. Tokoh Muhammadiah, NU, Soekarno bahkan sampai Soeharto ditampilkan. Iklan tersebut mendapat reaksi negatif dari para politisi yang merasa "memiliki" tokoh-tokoh tersebut.


Khusus untuk tokoh Soeharto, kritik terhadap PKS menyebabkan partai ini mendapatkan pemberitaan negatif dari media massa. Bahkan di kalangan elit PKS juga terjadi silang pendapat, dan terkesan ada yang disalahkan. Iklan ini gagal mendongkrak pesan dan hasil yang ingin dicapai karena disusul temuan survei yang menunjukan bahwa suara PKS tidak mampu masuk menjadi tiga besar.


Keajegan situasi ini (baca: lanskap yang masih didominasi PD, PG dan PDIP) menimbulkan kekhawatiran pada PKS. Taktik baru pun diluncurkan, yaitu disruption. Disruption dapat diterjemahkan sebagai "mengacaukan". Mengacaukan bertujuan untuk mengubah atau mengguncang lanskap politik yang ada. sehingga terbangun lanskap baru. Diharapkan dengan taktik ini terbuka celah bagi PKS untuk masuk menggantikan salah satu dari pemain tiga besar atau setidaknya mendorong perspektif adanya Empat Besar.


Dengan latar belakang demikian, iklan "pertikaian para elit" ini diluncurkan. Teks iklan tersebut dapat dibaca sebagai "para elit ini hanya bertikai, PKS mendorong persatuan". Iklan ini juga dapat ditafsirkan menjadi dua. Yang pertama,"Partai besar lain negatif, PKS Positif". Tafsiran kedua :"PKS sejajar dengan partai-partai besar lainnya karena ditampilkan dalam frame yang sama".


Tafsiran pertama bertujuan untuk membangun diferensiasi yang membedakan PKS dengan partai-partai lainnya, yaitu PKS sebagai pendorong terjadinya persatuan. Langkah ini senafas dengan iklan sebelumnya (iklan hari pahlawan) yang menampilkan berbagai tokoh, termasuk Soeharto. Ketika iklan "hari pahlawan: mendapat tanggapan negatif, PKS menyatakan bahwa setiap tokoh-tokoh tersebut memiliki jasa baik yang seharusnya dihargai dan diingat.Kesalahan yang pernah dilakukan sebaiknya dimaafkan. PKS juga berdalih iklan tersebut juga merupakan bagian dari upaya membangun rekonsiliasi. Iklan "pertikaian para elit" yang muncul belakangan dapat dianggap sebagai langkah penguat pesan-pesan tersebut.


Tafsiran kedua tampilan iklan "pertikaian para elit" (baca: partai di tiga besar) adalah PKS menyejajarkan dirinya dengan Tiga Besar. Langkah ini menggunakan taktik komparasi agar PKS mampu menciptakan efek kesejajaran.


Di below the line, PKS juga melakukan taktik Disruption. Isu yang dimainkan adalah koalisi pencalonan presiden. Para kader PKS"dibebaskan"berbicara terkait capres-cawapres dan koalisi. Setelah menyatakan sebagai partai terbuka, wacana koalisi Islam-Nasionalis pun digulirkan. Diharapkan kandidat dari PDIP dapat disandingkan dengan kandidat dari PKS.


Namun wacana ini meredup setelah PDIP gagal menetapkan calon wapresnya beberapa waktu lalu. Elit PKS pun mulai membangun wacana lain dengan mencalonkan Sri Mulyani sebagai wakil presiden dengan menyatakan bahwa Sri Mulyani lebih menguasai konsep ekonomi ketimbang Jusuf Kalla. Menyusul memanasnya situasi PD dengan PG, salah seorang pengurus teras DPP PKS pun mewacanakan kemungkinan koalisi dengan PG. Wacana yang paling mutakhir dari PKS (melalui pengurus teras DPP) adalah menyatakan akan kembali berkoalisi dengan PD karena konsituen PKS menginginkannya. Bolak-baliknya PKS mendorong kandidat capres/capres dan koalisi melalui taktik "mengacaukan" ini tiada lain adalah untuk mencari positioning bagi PKS.


Taktik Disruption ini kalau pun gagal tidak akan banyak merugikan PKS. Oleh karena itu, tafsir tambahan terhadap iklan "pertikaian elit politik" ini bisa dikembangkan menjadi destruction (penghancuran). Pemunculan iklan ini secara intens dan luas dengan memanfaatkan medium televisi hanya akan meningkatkan apatisme masyarakat terhadap politisi dan partai politik. Iklan terkadang hanya memperteguh pesan sehingga apatisme masyarakat akan memperteguh persepsi mereka terhadap citra negatif partai. Hal ini akan berimbas pada rendahnya partisipasi pemilih. Berdasarkan pengalaman di Pilkada, kondisi ini cenderung menguntungkan partai yang memiliki basis massa yang loyal dan mesin politik yang andal.


PKS tentunya tidak punya intensi memanfaatkan disruption dalam tafsiran yang terakhir. Sebagai partai dakwah tentunya PKS akan menjaga etika politik dan bersikap konstruktif. Apalagi Hidayat Nurwahid pernah menghimbau agar MUI mengeluarkan fatwa haram bagi golput.

sumber: http://www.maknainformasi.com/blog/?p=148